21/02/10

Liliana Mutia Sacrifico

Ini H-3 dan Lili sama sekali belum punya keberanian untuk berkomunikasi dengan Ayahnya. Entah kenapa, gengsi, kekesalan dan lintasan-lintasan memori yang kurang mengenakkan merajai kepalanya, bila ada muncul keinginan untuk mengontak Ayahnya. Jauh sebelum pernikahannya direncanakan, Lili sudah berjanji untuk tidak lagi menganggap Suami dari Ibunya itu seorang Ayah. Yang dia butuhkan dari orang itu hanya uangnya, untuk kebutuhan sehari-harinya. Setelah Lili tamat kuliah dan punya kocek sendiri untuk kesehariannya, otomatis dia terlepas dari Ayahnya.

Ibunya lama meninggal, saat seragamnya masih putih-biru. Lili masih ingat bagaimana setiap harinya dia menangis meraung-raung di becak yang melaju menuju makam ibunya. Ayahnya sendiri, bukan sosok bapak yang baik. Dia sangat ceroboh dan kaku. Mungkin harapan Lili terlalu tinggi terhadap dedikasi Ayahnya. Salahkan film seri Keluarga Cemara.

Sampai akhirnya dia mengutus Parmi – si tukang bersih-bersih di kontrakannya untuk sekedar mengirim undangan pernikahannya. Parmi pergi tepat di tengah hari, dan kembali sebelum matahari terbenam.

Lili hanya bertanya sekedarnya kepada Parmi, untuk mengecek apakah Ayahnya benar-benar mendapatkan undangan pernikahannya itu. Parmi bercerita alakadarnya dan di akhir ceritanya, dia memberikan secarik kertas kumal.

“Bapak menulisnya lama sekali. Saya disuruh tunggu di situ. Dia menulisnya sambil menangis keras.” Ujar Parmi.

Maka Lili membukanya.

“Liliana Mutia Sacrifico. Ini ayah kamu. Yang sudah 14 tahun tidak berjumpa. Apakabarnya kamu? Terakhir saya lihat kamu dari kejauhan di Pasar pagi itu. Saya sedang belanja untuk kebutuhan dapur. Saya ingin mendekat tapi akhirnya saya urungkan. Rasanya takut bertemu kamu. Saya selalu berpikir, yang terbaik untuk kamu adalah untuk tidak bertemu saya.

Yang saya tahu, kamu selalu punya amarah, setiap kali saya hadir di dekat kamu. Mungkin saya terlalu kaku untuk kamu, tidak bisa memperlihatkan kalau saja saya sayang sama kamu Lili. Saya juga dengar dari tante-tante dan Bude kamu, kalo kamu sudah tidak menganggap saya Ayah kamu. Saya minta maaf bila selama ini saya tidak bisa menjadi Ayah yang baik.

Yang membuat saya tetap ingat wajah kamu adalah pigura hijau lumut. Didalamnya ada foto kamu waktu menang lomba gerak jalan di TK. Apakah wajahmu masih sama? Bagaimana potongan rambutmu? Pekerjaanmu? Apakah kamu sehat?

Maafkan saya bila saya menjadi pria yang sangat dingin dan kaku untuk kamu. Seperti yang kamu tahu, kamulah yang tersisa, di keluarga kecil kita. Memang bukan saya yang melahirkan kamu, tetapi setidaknya saya pernah membelikan kamu susu dan mengajak kamu menghias pohon Natal, entah berapa puluh tahun lalu.

Waktu membuat saya yakin sekali bahwa saya salah. Waktu juga yang mengingatkan saya bahwa pria tua ini hidup sendiri,menuai kesalahannya sendiri dan mungkin akan mati tanpa ada siapapun yang menyadarinya. Waktu juga yang menyadarkan saya, bahwa saya kehilangan arti keluarga. Dan waktu juga yang membawa saya sampai hari ini, bahwa kamu sudah dipinang pria lain dan akan hidup bahagia dengannya.

Kabar ini membuat saya berandai-andai bahwa sekarang kamu sudah ada di posisi yang sangat mapan dan baik.

Dan dengan tidak bertemu saya, mungkin kamu bisa ada di dalam keadaan seperti itu. Saya gagal mendidik kamu Lili. Rasanya sampai ke pangkal hati.

Dan mungkin saya pantas menjalani kesendirian ini, sebagai ganjaran kesalahan saya selama ini. Saya tahu betul kamu akan bahagia bersama dia

Sudah, lupakan saya. Itu yang membuatmu bahagia.

Salam. Ayahmu.”

3 komentar:

  1. Mngkn Liliana Mutia Sacrifico sadar bahwa dirinya sdg terdominasi. Mngkn Liliana ingin lepas dr batasan yg diciptakan oleh mereka yg merasa berhak atas dirinya. Berjuang untuk kemerdekaan pribadi.

    BalasHapus