07/02/10

#03 JONO

jono memijakkan kaki kiri pertamanya di ibukota, saat dia turun dari bis jurusan caruban - jakarta lebaran kemarin. tasnya tidak berat, isinya hanya ada baju, celana dan beberapa helai pakaian dalam. semuanya baru. masih ada label harga dari pasar kaget yang digelar di alun-alun Caruban dua hari sebelum hari kemenangan tiba. ibunya menangisi kepergian anaknya untuk mengadu nasib di ibukota.

sayangnya jono berpikir apa yang akan dilakukannya untuk menambal kebutuhan hidupnya di jakarta sepuluh menit setelah di sampai di tengah kerumunan orang di terminal Lebak Bulus. di tangan kirinya ada secarik kertas yang menginformasikan nomor telepon dan keberadaan oom jauhnya yang berdomisili di pondok cabe. lalu giginya yang jarang disikat bergemeretak ketika ia tahu bahwa oomnya telah lama meninggal via telepon umum di dejat terminal lebak bulus. dia lihat kanan kirinya. ada beberapa orang yang sama planga-plongonya dengan dia, bedanya hanya mereka membawa seekor ayam hidup, atau menggenggam sebungkus kudapan khas daerah masing-masing.

tiga hari pertama jono tidak begitu menyenangkan. setelah dipalak habis oleh preman lebak bulus, dia juga tidak bisa terlelap sembarangan dimalam hari. Ada Satpol PP yang dengan girang menendang-nendangi mereka yang tidak bertempat tinggal dan tidak mempunyai surat-surat resmi. wong yang punya tempat tinggal saja digusur kok, apalagi so called gembel seperti jono yang tidak jelas. tetapi lama-lama jono naik kelas menjadi gembel beneran. dia tidak berani memberikan kabar apa-apa ke rumahnya, takut Ibunya malu atau malahan dia yang malu karena akan dipaksa pulang ke kampung halaman.

sebenarnya keinginan jono ini terwujud karena termakan cerita teman-temannya. cerita dan tradisi pergi ke ibukota sehabis lebaran, selalu diceritakan teman-teman jono setiap tahunnya. padahal mereka menceritakan sebuah kisah kesuksesan yang palsu, karena mereka hanya berakhir menjadi tukang ketoprak atau malahan satpan cafe murahan di pinggir jakarta. Jono yang selalu ingin pergi, selalu membatalkan kepergiannya karena ibunya ngotot bahwa kebahagiaan hidup juga bisa diraih di kota kecil itu, tidak hanya di jakarta.


dan memang keadaan jono dua minggu pertama di jakarta juga sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan yang teman-temannya gembar gemborkan. dalam hati kecilnya ia merasa tertipu, tetapi terlalu malu untuk pulang dan mengakui kekalahannya di jakarta. Jono tidak tahu bahwa perut lapar bisa mengundang kriminalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar