07/02/10

#02 Highway Love

Heru adalah seorang supir. Supir yang bekerja untuk ko Ahong. Ko Ahong adalah seorang penyetok barang-barang kebutuhan rumah tangga tersohor di Ibukota. Seluruh ibu-ibu di ibukota selalu menunggu ko Ahong memberikan perkan diskon di tokonya, lalu mereka akan menyerbu toko itu dan pulang membawa berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Bulan ini umur Heru beranjak 21.

Sebuah umur tanggung yang bikin bingung. Dia tidak pernah banyak berharap tentang hidupnya. Bukan tipe ambisius, dan bukan model yang pemimpi. Baginya, hidup adalah apa yang ada hari ini. Dan hal itu juga lah yang membuat dia bisa bertahan hidup sampai detik saya mengetik tulisan ini. Heru tidak pernah merasa gagal, karena tidak pernah punya keinginan yang harus Ia perjuangkan. Heru tidak pernah merasa sedih, karena emosi bukan menjadi bahan pertimbangan bagi hidupnya. Hanya ada hitam dan putih. Iya dan tidak. Itu sudah.

Tugasnya setiap hari sama. Menyupir truk Ko Ahong yang berisi stok barang. Dia harus mengantarnya dari tempat Ko Ahong menimbun persediaan barang itu ke toko-tokonya yang tersebar dimana-mana. Sebenarnya Heri tidak sendiri. Dia punya teman sesama supirnya, Joni. Tetapi Joni dan Heru mempunyai lintasan menyupir yang berbeda, sehingga mereka hanya bertemu pagi dan sore ketika sudah usai pekerjaannya.

Di lubuk hatinya Heru mencintai pekerjaan itu. Detik-detiknya dia nikmati. Bahkan di tahun ke 21 hidupnya. 3 tahun sudah. Tiga kali 300 hari-hari melintasi jalur yang sama, mengganti perseneling mobil, menyalakan wiper, memanaskan mobil, membeli rokok, dan membayar tol di gerbang yang s a m a . saat selintas jemu mencoleknya, yang biasa dia lakukan hanya diam, tersenyum sesekali dan (kembali) bersyukur akan karunia Tuhan yang diberikan untuknya. Terkadang pasrah dan bersyukur tidak selamanya menjadi sebuah hal yang menarik.

Lalu sebuah pagi datang menggelitik tengkuk Heru untuk bangun dari kamar sempitnya di pinggir kediaman Ko Ahong. Kasur kayu kecil yang semakin malas menyangga tubuh Heru yang tidak lagi kecil, sewaktu dia dulu diangkut oleh Ko Ahong dari jalanan Jakarta, dan dipekerjakan olehnya hingga sekarang. Dia meletakkan langkah pertama di pagi itu dengan lumayan malas.

Kembali membuka pintu yang sama. Jalur yang sama. Secangkir kopi hitam yang sama. Sabun dan peralatan mandi yang sama. Sepasang sepatu dan kaoskaki usang yang sama. Sebilah pisau pemotong buah yang sama. Orang-orang yang sama. Obrolan yang sama. Dan Heru yang sama. Tiga tahun dia menjalani rutinitas yang sama. Tanpa banyak basa-basi starter mobil dinyalakannya dan dia mulai membersihkan bagian badan mobil dengan kemoceng kecil yang menjadi favoritnya sejak lama. Perlahan dan pasti.

Tak sedetikpun Heru merasa kesepian. Tak sekalipun Heru ingin jatuh cinta. Tak pernah dia ingin merasa nyaman dengan orang lain. Semuanya cukup baginya.

Heru merasa bahwa rutinitasnya ini adalah sebuah rangkaian sacral yang tidak boleh terputuskan dan rusak oleh apapun. Kegiatan di sepanjang hidupnya sudah seperti sebuah fotosintesis dan siklus yang tak terbantahkan. Tidak boleh ada seorangpun yang merusaknya. Dan pagi itu ia kembali ke tempat yang sama, yaitu kursi supir truk kuning Ko Ahong. Dia memulai perjalanannya dengan santai, seperti tidak suatu apapun yang menghalanginya untuk menjalani profesinya. Belokan pertama, kedua, perempatan dan ampu merah yang sudah dia hapal mati. Lalu tiba masuk ke gerbang jalan Tol. Kartu Tol yang mungkin sudah sering Ia genggampun sudah afal siapa Heru supirnya Ko Ahong.

Perjalanan di Tol memakan sekitat 15 menit. Sesekali Heru bersiul dan menoleh kiri-kanan jalan. Terkadang Ia bertemu teman-temannya – yang juga supir sedang dalam perjalanan juga. Tol itu berakhir, dan ditutup oleh sebuah gerbang dimana Heru harus membayar Rp.5.500. Pagi itu Ko Ahong memberikan Heru seratus ribu rupiah untuk dipecah di tol. Perlahan truk Heru mendekati loket pembayaran itu. Heru spontan menyiapkan seratus ribu rupiah yang sudah dititipkan oleh Ko Ahong. Perlahan juga Ia menjulurkan tangan untuk menyambut tangan penjaga loket tol.

Tetapi ternyata detik-detik itu berlangsung lebih lama.

Heru hendak membayar tol tetapi sepertinya agak terhambat. Dia melihat seorang sosok yang berbeda di depan mukanya. Berbaju seragam marga Jasa, tanpa bedak ataupun alis tebal. Entah kenapa Heru merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, merambat ke detak jantung yang tiba-tiba konser di dalam dadanya. Sumpah Heru tidak tahu kenapa dia terus memandang paras di dalam loket itu. Tangannya menggenggam tangan Heru yang menyodorkan uang seratus ribu itu. Dalam gerakan lambat Heru menyaksikan Mahluk itu memilah-milah uang kembalian dan menghitung cepat kembalian yang seharusnya dia berikan ke Heru. Heru bersyukur saat itu Ia menyerahkan uang seratus ribu, sehingga waktu dia memandang gadis itu berambah sedikit lebih lama, karena si Gadis harus menghitung kembalian yang jumlahnya tidak sedikit.

Heru seperti kerasukan setan. Tubuhnya lemas dan jantungnya berdebar kencang. Seketika dia terkejut karena ternyata mobil belakang membunyikan klaksonny dengan sengaja. Heru terkejut dan terpaksa memasukkan perneling ke gigi satu dan melanjutkan perjalanannya. Pertemuan itu hanya berlngsung tujuh detik saja. Cukup tujuh detik saja untuk membuat dia linglung dan gelisah selama tujuh jam berikutnya. Dia tidak pernah segelisah ini. Heru tidak pernah merasakan hal-hal seperti ini di hidupnya. Dan yang lebih bodohnya lagi, dia lupa melihat nama gadis loket tol itu, padahal jelas-jelas di setiap loket tol ada nama petugas loket yang sedang menjaga saat itu.

Hati kecil Heru berjanji besok dia harus kembali lewat loket itu dalam jam yang sama dan mencari tahu siapa nama gadis loket tol itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar