07/02/10

#07 Dia yang Tidak Pernah Datang


enang meredam dan merasuk ke tulang yang tidak mau membusuk.

“ Aku tidak suka ganja, tetapi sepertinya padang rumput ini berhasil merayuku “

dan dimulailah sebuah ibadat yang dihiasi gelak tawa antara aku, kamu dan beberapa linting surga. Pukul 04.55 pagi dan bokongku beralaskan pasir putih pantai.

“ lalu apa yang harus kita lakukan?” Tanya ku sambil menarik lintingan surga itu melalui lubang hidung

“Kabur. Lari saja. Pakai mobil pamanku. Kita bisa menyusuri pantai selatan sampai kita menemukan pondok atau kamar untuk sedikit memejamkan mata.”


“lalu bagaimana dengan hidup kita? Keluargamu? Pekerjaan? Bandku?”

“Persetan. Kamu tidak butuh itu.”

Dan aku jatuh cinta dengan sifatmu yang itu. Sifatmu yang selalu ingin meyakinkan aku, bahwa apa yang aku perlu hanya kamu.

“Tapi ini berarti kita pergi. Dan hanya kamu yang tersisa di hidupku.” Sahutku dengan nada tidak yakin.

“Pergi atau tidak, memang tinggal aku yang tersisa di hidup kamu.” Dia menendang riak ombak yang datang kearah kita berdua. Terlihat kikuk, namun tetap anggun di mataku.

Pagi itu kita membuat janji. Untuk tidak sekalipun berjanji. Mengudara dengan bekal yang terbesit di dalam hati.

Tidak lebih dari 45 menit setelah itu aku sudah siap dengan setumpuk baju yang dimasukkan asal-asalan kedalam ransel. Beberapa ratus ribu rupiah, dan sebilah ukulele yang biasa aku perkosa saat tiba-tiba dihujani ide untuk menulis lagu.

aku menunggu sampai sore tiba, dan dia tidak pernah datang.


1 komentar: