27/03/10

untuk apa?

Sore itu saya bertemu dengan dia.
Mahasiswa muda yang membuat emosi saya membara.

Semua berawal dari siaran langsung televisi, yang memperlihatkan kemarahan demonstran yang sebagian besar terdiri dari kelompok mahasiswa, merangsek pagar dan merusak halaman Gedung DPR. Isunya, mengenai pengambilan suara perihal kasus Bank yang tersohor. Ah, tidak mungkin Anda tidak ingat saat itu.

sore itu, Saya hanya seorang pria yang baru pulang dari kerja, memencet remote televisi dan berharap ada tontonan yang menarik.

lalu di layar kaca, mempertontonkan aksi anarkis para mahasiswa. Ada satu yang sedang berkoar dan moncongnya disodori mikrofon stasiun televisi yang sedang meliput. Mahasiswa itu berteriak-teriak ttg hak rakyat, tuntutan-tuntutan yang absurd. Entah kenapa terlihat sekali, anak muda ini hanya berdemo karena dibayar oleh pihak provokator. Nada bicaranya terlalu meledak-ledak, seperti kehilangan arah. Andai semangatnya disalurkan di kelas-kelas kuliahnya, ketimbang beraksi jadi pahlawan kesiangan di jalanan.begitu selesai diwawancara, kamera masih merekan gambarnya, yang ternyata langsung mengangkat telepon selularnya dan bercerita bahwa baru saja mukanya terekam gambar stasiun Tv swasta. untuk apa?

Toh ini bukan lagi tahun 90an, dimana masyarakat punya common enemy yang adidaya. perang itu sudah bukan lagi ada di jalanan kawan. perang itu ada di dalam diri kita sendiri. pintu-pintu itu sudah terbuka lebar. mahasiswa yang masih berdemo seperti sore itu yang saya saksikan, hanya mengenang romantisme semu masa orde baru.

...

minggu siang, saya iseng belanja ke supermarket dekat kontrakan dengan menggunakan angkutan umum. saya memasuki angkutan itu dan duduk rapi di kursi. Ternyata di sebelah saya ada si mahasiswa yang membuat emosi saya membara sore itu ketka menyaksikan siaran demonstrasi di depan gedung DPR. dia sedang menerima telepon. membicarakan sejumlah uang yang baru saja Ia dapat, karena telah menjalankan tugas bosnya untuk menjadi pmpinan demonstrasi.

Saya memperhatikan mukanya jelas-jelas.
betul, dia orangnya.

"maaf mas, mas yang waktu itu berdemo di gedung DPR ya?"

"iya, pasti nonton di TV ya pak?"

"iya, saya mau tanya perihal demonya mas."

"waduh, saya juga gak ngerti pak, mendingan jangan tanya saya. saya hanya menjalankan tugas."

"hoo, lalu waktu itu saya lihat mas semangat sekali berkoar di depan televisi?"

"ah, itu kan udah ada tulisannya di kertas yang dibagi, bagi. saya hanya mengulangi apa yang disuruh aja."

"hoo, iya iya."

percakapan yang sangat singkat, dengan makna yang sangat dalam bagi saya.



21/02/10

Liliana Mutia Sacrifico

Ini H-3 dan Lili sama sekali belum punya keberanian untuk berkomunikasi dengan Ayahnya. Entah kenapa, gengsi, kekesalan dan lintasan-lintasan memori yang kurang mengenakkan merajai kepalanya, bila ada muncul keinginan untuk mengontak Ayahnya. Jauh sebelum pernikahannya direncanakan, Lili sudah berjanji untuk tidak lagi menganggap Suami dari Ibunya itu seorang Ayah. Yang dia butuhkan dari orang itu hanya uangnya, untuk kebutuhan sehari-harinya. Setelah Lili tamat kuliah dan punya kocek sendiri untuk kesehariannya, otomatis dia terlepas dari Ayahnya.

Ibunya lama meninggal, saat seragamnya masih putih-biru. Lili masih ingat bagaimana setiap harinya dia menangis meraung-raung di becak yang melaju menuju makam ibunya. Ayahnya sendiri, bukan sosok bapak yang baik. Dia sangat ceroboh dan kaku. Mungkin harapan Lili terlalu tinggi terhadap dedikasi Ayahnya. Salahkan film seri Keluarga Cemara.

Sampai akhirnya dia mengutus Parmi – si tukang bersih-bersih di kontrakannya untuk sekedar mengirim undangan pernikahannya. Parmi pergi tepat di tengah hari, dan kembali sebelum matahari terbenam.

Lili hanya bertanya sekedarnya kepada Parmi, untuk mengecek apakah Ayahnya benar-benar mendapatkan undangan pernikahannya itu. Parmi bercerita alakadarnya dan di akhir ceritanya, dia memberikan secarik kertas kumal.

“Bapak menulisnya lama sekali. Saya disuruh tunggu di situ. Dia menulisnya sambil menangis keras.” Ujar Parmi.

Maka Lili membukanya.

“Liliana Mutia Sacrifico. Ini ayah kamu. Yang sudah 14 tahun tidak berjumpa. Apakabarnya kamu? Terakhir saya lihat kamu dari kejauhan di Pasar pagi itu. Saya sedang belanja untuk kebutuhan dapur. Saya ingin mendekat tapi akhirnya saya urungkan. Rasanya takut bertemu kamu. Saya selalu berpikir, yang terbaik untuk kamu adalah untuk tidak bertemu saya.

Yang saya tahu, kamu selalu punya amarah, setiap kali saya hadir di dekat kamu. Mungkin saya terlalu kaku untuk kamu, tidak bisa memperlihatkan kalau saja saya sayang sama kamu Lili. Saya juga dengar dari tante-tante dan Bude kamu, kalo kamu sudah tidak menganggap saya Ayah kamu. Saya minta maaf bila selama ini saya tidak bisa menjadi Ayah yang baik.

Yang membuat saya tetap ingat wajah kamu adalah pigura hijau lumut. Didalamnya ada foto kamu waktu menang lomba gerak jalan di TK. Apakah wajahmu masih sama? Bagaimana potongan rambutmu? Pekerjaanmu? Apakah kamu sehat?

Maafkan saya bila saya menjadi pria yang sangat dingin dan kaku untuk kamu. Seperti yang kamu tahu, kamulah yang tersisa, di keluarga kecil kita. Memang bukan saya yang melahirkan kamu, tetapi setidaknya saya pernah membelikan kamu susu dan mengajak kamu menghias pohon Natal, entah berapa puluh tahun lalu.

Waktu membuat saya yakin sekali bahwa saya salah. Waktu juga yang mengingatkan saya bahwa pria tua ini hidup sendiri,menuai kesalahannya sendiri dan mungkin akan mati tanpa ada siapapun yang menyadarinya. Waktu juga yang menyadarkan saya, bahwa saya kehilangan arti keluarga. Dan waktu juga yang membawa saya sampai hari ini, bahwa kamu sudah dipinang pria lain dan akan hidup bahagia dengannya.

Kabar ini membuat saya berandai-andai bahwa sekarang kamu sudah ada di posisi yang sangat mapan dan baik.

Dan dengan tidak bertemu saya, mungkin kamu bisa ada di dalam keadaan seperti itu. Saya gagal mendidik kamu Lili. Rasanya sampai ke pangkal hati.

Dan mungkin saya pantas menjalani kesendirian ini, sebagai ganjaran kesalahan saya selama ini. Saya tahu betul kamu akan bahagia bersama dia

Sudah, lupakan saya. Itu yang membuatmu bahagia.

Salam. Ayahmu.”

08/02/10

#09 Krompyang!

dan pecahan itu mengakhiri karir Badrun sebagai pelayan di kedai Koh Andri.
..
Badrun melihat kiri kanan. Belum sampai tengokan yang ke kanan, pundaknya di remas kencang oleh Bayu, si tukang sapu. Badrun langusng terngiang pembicaraannya tadi pagi saat makan roti satu tangkap andalan Istrinya.

"Pak, itu si Heru kasian bajunya udah belel sekali, boleh lah saya ambil uang sisa bangun rumah itu, buat ajak dia ke pasar baru, beli satu atau dua pasang."

Tapi Badrun tau Koh Andri tidak pernah perduli. Kesalahan harus diganjar dengan setimpal. Toh Badrum bukan yang paling gemilang pula di tempat dia bekerja. ini bukan kali pertamanya Ia menjatuhkan nampan. Yang pertama dan kedua bunyinya agak lebih nyaring. Yang kedua bahkan pecahannya hampir mengenai pengunjung.

Koh Andri pernah bilang, yang bikin dia selalu menggelincirkan makanannya itu cincin kawinnya. Terlalu besar katanya. membuat permukaan nampan jadi tidak rata, sehingga mudah untuk dijatuhkannya .Tapi berpikir untuk melepaskannya pada saat bekerja tidak sekalipun pernah. Cincin kawin ya cincin kawin. Kalo dia lepas, berarti dia tidak beristri. Kalo tidak beristri, ya berarti bukan Badrun.

Berakhirlah dia di depan pintu kontrakannya. Tanpa harus membuka pintu, dia tahu persis kegiatan yang ada di dalam rumah itu, tepat pukul 19.00. Keadaannya adalah Heru yang baru selesai menghapalkan materi ujian, dan istrinya sedang menyiapkan makan malam. Badrun tidak tahu mau bilang apa ke mereka. Di dalam kepalanya muncul banyak opsi. Berbohong, atau sengaja tidak memberitahu atau hanya diam.

Badrun tidak pernah menyangka, kesalahan fatalnya bisa mempengaruhi keadaan seluruh keluarga. Badrun tidak pernah sadar bahwa itulah hidup orang dewasa.

07/02/10

#08 See You on the Other Side

Aku bosan makan bubur itu. bahkan dulu aku sempat berpikir, sampai saat-saat terakhir aku bersama kamu dan yang lain, kalau bisa jangan bubur itu lagi makanannya. Dan ya, memang sulit sekali untuk memberitahu orang, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Aku hanya sesekali bisa mengedipkan mata, itu juga bukan berarti kamu dan yang lain tahu apa yang aku maksud. Susah sekali menggerakkan badan ini. Yah, mungkin setengahnya juga sudah tidak berguna lagi. Setengahnya lagi saja terselamatkan berkat obat jutaan rupiah yang hanya akan membuat aku mati lebih lama sedikit.

Dan maafkan selama ini aku membuat repot. Di malam-malam panjang dimana kamu menangis sepanjang malam di hadapan tempat tidur ini, aku tidak tidur. Hanya saja mata ini terkadang mati rasa, sehingga dokter bilang aku ini tidur. Tetapi sebenarnya aku menyaksikan kamu menangis. Kadang juga kamu datang dan membacakanku novel-novel tebal yang tidak pernah bisa aku rampungkan saat raga ini masih berdaya. Terimakasih telah menceritakan kepadaku semua cerita-cerita itu.

Dan aku juga tidak akan melupakan puisi-puisimu yang kau bacakan. Kamu membacakannya dengan raut paling jujur yang aku tahu. Lucu ketika aku masih bisa bicara, kamu akan selalu menjadi orang paling sombong dan pelit di hadapanku. Namun sekarang setelah tertimpa musibah dan mulut ku terkunci hingga hayat usai, mendapatimu seperti ini menjadi hadiah kecil didalam mimpi buruk. Aku tidak tahan ketika kamu membacakannya hingga menangis. Berlagak biasa saja ketika suster-suster datang membawa sekotak obat-obatan tanpa guna. Mereka seperti sudah biasa menemukan kamu berbicara sendiri kearah ku.

Aku paling suka saat kamu mengulang-ngulang cerita masa muda kita. Aku selalu ingin hidup 100 tahun lagi, saat kamu menceritakan betapa bodoh dan gegabahnya kita dulu. Atau saat aku melamarmu di bawah pohon oak tua sebelah rumah Oma Magdalena. Aku tidak tahu kenapa kamu sering sekali mengulang kisah itu, tapi berakhir menangis lagi sampai tertidur.

Dan darimana kamu dapatkan foto-foto tua itu? kamu tidak berhenti menunjukkannya kepada ku, sambil berandai-andai bahwa kita akan setua papa-mamaku dan beranak pinak hingga eneg.

Bahkan hingga kini masih ada beberapa orang yang tidak aku kenali mukanya, datang menjenguk aku. Mereka selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama mengenaiku, dan menyaksikan kamu menjelaskannya dengan sedih hanya membuatku semakin ingin mati. Aku bingung kenapa perhatian membanjiri ruangan ini, pada saat aku sudah mau mati.

Terimakasih juga telah mau memandikanku. Terimakasih sudah mau tidur duduk disamping tempat tidurku. Aku khawatir kamu yang jadi sakit juga, terlalu lelah mengurusi orang sekarat seperti aku. Di malam-malam ketika aku masih terjaga, kamu sering mengigau dan lagi-lagi menangis. Entah berapa liter air mata yang sudah jatuh dari mata itu. mungkin sudah bisa mengatasi kekeringan di Afrika.

Bahkan aku tidak pernah menyadari apa yang kamu rasakan untukku, ternyata sebesar ini. Mungkin karena kamu juga tidak pernah mau menunjukkannya kepadaku, saat semuanya masih baik-baik saja. Ah andai saja kamu seperti ini sejak dulu. Mungkin aku masih bisa menemukan harapan hidup terselip di saku celana.

Sumpah demi Andromeda aku masih bisa merasakannya saat kamu mengusap kening ini. Aku masih bisa merasakannya saat kamu mengecup pipiku dan berbisik kata-kata yang tak mungkin aku dengar pada saat dulu. Tapi untuk membalasnya, mungkin hanya bisa menggerakkan jari telunjuk kiri sejauh 1 mili.

Ah ya sudahlah. Mungkin memang sudah saatnya kita berpisah. Seandainya aku masih bisa memberitahumu segalanya yang selama ini tertahan hanya di pelupuk mataku.

Good night. See you in the other side

#07 Dia yang Tidak Pernah Datang


enang meredam dan merasuk ke tulang yang tidak mau membusuk.

“ Aku tidak suka ganja, tetapi sepertinya padang rumput ini berhasil merayuku “

dan dimulailah sebuah ibadat yang dihiasi gelak tawa antara aku, kamu dan beberapa linting surga. Pukul 04.55 pagi dan bokongku beralaskan pasir putih pantai.

“ lalu apa yang harus kita lakukan?” Tanya ku sambil menarik lintingan surga itu melalui lubang hidung

“Kabur. Lari saja. Pakai mobil pamanku. Kita bisa menyusuri pantai selatan sampai kita menemukan pondok atau kamar untuk sedikit memejamkan mata.”


“lalu bagaimana dengan hidup kita? Keluargamu? Pekerjaan? Bandku?”

“Persetan. Kamu tidak butuh itu.”

Dan aku jatuh cinta dengan sifatmu yang itu. Sifatmu yang selalu ingin meyakinkan aku, bahwa apa yang aku perlu hanya kamu.

“Tapi ini berarti kita pergi. Dan hanya kamu yang tersisa di hidupku.” Sahutku dengan nada tidak yakin.

“Pergi atau tidak, memang tinggal aku yang tersisa di hidup kamu.” Dia menendang riak ombak yang datang kearah kita berdua. Terlihat kikuk, namun tetap anggun di mataku.

Pagi itu kita membuat janji. Untuk tidak sekalipun berjanji. Mengudara dengan bekal yang terbesit di dalam hati.

Tidak lebih dari 45 menit setelah itu aku sudah siap dengan setumpuk baju yang dimasukkan asal-asalan kedalam ransel. Beberapa ratus ribu rupiah, dan sebilah ukulele yang biasa aku perkosa saat tiba-tiba dihujani ide untuk menulis lagu.

aku menunggu sampai sore tiba, dan dia tidak pernah datang.


#06 Under the Canopy


Sebuah percakapan lahir di antara rintik hujan dan teduhnya canopy sebuah klab Jazz, dikala sebuah lagu dari Peggy Lee meluncur dahsyat menghujam telinga.

“Aku mencintaimu selamanya,”

“Kenapa?”

“Karena aku bisa, aku ingin, aku sanggup, aku bersedia, aku siap, aku tidak malu, aku mampu, aku yakin, aku percaya, aku optimis, aku kuat, aku sadar, aku mau bertanggung jawab, aku sabar dan aku berani.”

“Oke.”

“Oke? Hanya itu?”

“Dari semua yang kau paparkan, tidak ada sedikitpun alasan yang muncul karena Aku. Kau hanya mencintai perasaanmu untuk Ku, tapi bukan Aku.”


#05 Jay & Bilik Jasa Marga



Mungkin Jay adalah orang yang paling banyak menghitung uang di tengah larut malam. Kemeja Jasa Marganya sudah mulai pucat, mengiringi bulat tiga tahun dia duduk di dalam ruangan sempit yang penuh dengan uang. Entah uang siapa, yang pasti bekerja menjadi petugas gerbang tol, memang bukan pilihan terbaik Jay.

Dia mendaratkan bokongnya di bilik membosankan itu setiap senin, kamis dan sabtu malam. Di dalam bilik itu, dia sudah berbagi ratusan cerita dengan MP3 player buatan Cina milik adiknya yang hingga kini diam-diam Jay ambil saat adiknya tertidur. Seraya menaikkan selimut kumal sampai dagu adiknya, Jay mengambil MP3, menyelipkannya ke kantung kemejanya dan bergegas pergi untuk bertemu teman lamanya, si bilik gerbang tol.

Tiga tahun belakangan, teman di malam hari bagi Jay bukanlah hadir di dalam obrolan panjang, gelak tawa ataupun tangis haru biru. Teman di malam hari bagi Jay adalah derungan bunyi AC rongsok di bilik kecil. Siaran radio lokal yang penyiarnya menggelar arisan via siaran, Uang receh yang bergemerincing saat jatuh di sela-sela dia mengitung kembalian.

Padahal Jay bertemu banyak sekali orang baru setiap malam yang dia habiskan di bilik tua itu. Dia sering sekali memperhatikan detil-detil dari setiap orang baru yang ditemuinya.

23.45 WIB: seorang bapak tua yang tampak workaholic, membayar tol sambil mengantuk dan mendengarkan radio tua yang isinya berita politik membosankan.

00.24 WIB: Pasangan muda yang sedang jatuh cinta, membayar tarif tol dengan gaduh, dan suara tembang-tembang cinta membahana di mobil kelas pekerja mereka.

01.30 WIB: Anak muda yang baru pulang pesta. Dengan pakaian mencolok mata, mendengarkan musik disko non pantura. Menjulurkan tangan dengan agak tidak fokus karena segelas pina colada dari teman yang sedang berbahagia.

Itulah pemandangan Jay setiap malam dari bilik itu. Pertemuan yang berlangsung tidak lebih dari 10 detik itu, malahan membuat Jay banyak belajar tentang manusia.

Suatu malam lewat sebuah mobil, dengan supir seorang wanita yang sedang menangis keras, sambil menempelkan telepon genggamnya di kuping, dan berusaha membayar tol dengan tangan satunya yang sedang memegang setir. 4 detik perjumpaan dengan wanita itu, Jay dengan mudah mengundang empati dari matanya turun ke hatinya, bahwa wanita itu sedang mengalami kesedihan yang luar biasa.

Jay banyak melihat banyak kesedihan selama dia terperangkap di bilik itu. Hitungan detik tidak membuat Jay tidak bisa menilai apa yang sedang orang rasakan. Berbagai jenis manusia melewati Jay setiap malam. Berbagai perasaan manusia ada di hadapan Jay selama dia bekerja.

Entah beruntung atau tidak, Jay bisa menemukan mereka yang sedang tidak bersandiwara.


#04 Alexia dan Bohemian Rhapsody 3 Tahun Lalu



Jangan bermain akal dengan seorang Alexia. Dia orang paling logis yang pernah suka The Beach Boys, dan dengan sukarela membenci The Beatles karena dia tuduh sebagai penjiplak tersukses. Kami biasa bertemu di bar selagi hujan turun deras dan seluruh supir taksi di Indonesia lupa melewati kantor saya.

Alexia bukan orang yang mau terima apa saja begitu saja. Saya terbiasa berdebat dengannya, diwasiti meja bundar mahoni tua, dengan dua kursi panjang ala Bar Eropa. Kemarin malam mengenai bagaimana cara John Bonham meninggal. Saya tetap percaya bahwa dia mati karena 40 sloki vodka, tetapi Alexia yang mengaku seorang Zeppish sejati, masih saja yakin bahwa Bonzo meninggal hanya karena menjadi tua.

Jangan pernah Tanya soal musik kepada Alexia, dia akan senang hati menggelar sebuah pertunjukkan wayang urban semalam suntuk, tentang bagaimana Bowie menjadi biseks, sampai kenapa sampai album See you On the other side,Head Korn berubah haluan menjadi seorang Pastur. Perangai kerasnya menunjukkan sebuah benteng pertahanan yang kuat. Sangat mencolok, bagaimana dia sangat ingin saya menilainya sebagai wanita independen-berkarir-pantang sedih. Bila Hendrix masih hidup dan masih menjadi budak morfin sampai kemarin malam, pasti dia akan memainkan Foxy Lady untuk Alexia yang hampir mencekik saya karena ngotot membayar semua tagihan minum kami.

Sampai Jumat kemarin, saya tidak pernah tahu dan tidak pernah terlibat dalam kehidupan cintanya.

Dia membuka pintu bar dengan punggungnya, mendorong perlahan. Tangannya menopang kotak kue coklat besar yang apapun mereknya, sepertinya sangat lezat. Saya tahan Heineken saya di ujung bibir, sambil melirik kearah Alexia yang masih tersenyum.

Mulut seluruh orang di bar malam itu mendadak terasa manis. Saya tidak sempat berdebat dengan Alexia, dia sibuk menceritakan kronologi promosi jabatannya menjadi redaktur budaya berkat rencana liputan festival Coachella 09 yang dia menangkan. Alasan yang cukup kuat untuk membuat perut semua orang menjadi penuh akibat traktiran kue coklat yang dia bawa.

Saya hanya memandanginya dari kejauhan. Rambut tebalnya tidak pernah membosankan untuk dipandang. Mata kecil-nyaris sipit-nya bukanlah objek yang bisa dengan mudah diabaikan dan tidak dipandangi. Sampai Bobi si bartender mendorong kepala saya dengan jari telunjuknya.

Entahlah, mungkin saya saja yang berlebihan,tetapi dari matanya, Bobi seakan berkata,” Sudahlah, dia terlalu kuat untuk kamu taklukkan. Dia tidak akan pernah menunjukkan dan memberikan kesempatan bagi kamu untuk bisa berperan sedikitpun.” Kalaupun Bobi si bartender tidak berpikir itu, sepertinya saya saja yang berpikir sampai ke titik itu.

Tengokan saya berikutnya kearah Alexia malam itu adalah saat dia memutuskan untuk membuka piano tua dan kembali melantunkan Tracy Chapman. Andalan Alexia saat dia sedang berbahagia. Di bagian refrain kedua, selalu dia beri aksen staccato dan akibatnya lagu itu akan menjadi sebuah ciri khas Alexia. Pertama kali saya tahu dia bermain piano, saya menantangnya bermain Bohemian Rhapsody, dan dia mengabulkan tantangan itu dengan mata tertutup.

Bobi baru saja dikirimi oomnya plat tua Eagles album hell freezes over, dan dia memasang lagu Desperado seiring Alexia berjalan mendekati saya.

“Bagaimana mungkin kamu tidak pernah jatuh cinta denganku?” tanyanya pelan. Aroma red wine meluncur lugas ke hidung.

Saya terdiam sejenak. Memandang matanya yang bersinar seribu bahasa. Merunduk.

“Kamu tidak pernah memberikanku kesempatan untuk tahu bahwa kamu butuh aku.” Jawab saya serak. “Kamu sibuk menunjukkan betapa kerasnya pikiranmu, betapa dewasa dan dalamnya pikiranmu. Aku tidak butuh itu. Aku butuh kamu untuk menunjukkan bahwa kamu butuh aku. Itu saja.”

“Kenapa? Kamu tidak suka wanita yang mempunyai argumen, pendirian, prinsip,komitmen terhadap dirinya sendiri?” Alexia bertanya tegas.

“hanya orang idiot yang tidak sadar bahwa kamu pintar, tetapi tidak harus jadi seorang jenius untuk bisa jatuh cinta denganmu,lex.” Sahutku.

“Kamu tahu, aku adalah orang yang sangat kesepian. Hidupku hanya tentang benteng pertahananku, harga diriku yang kelewat mahal,dan Tas LV ku yang baru saja ketumpahan Kopi tadi pagi.” Bentak Alexia sambil menangis. Semua orang terdiam seketika.

“Lalu buat apa aku beritahu kamu kalau aku jatuh cinta padamu sejak Bohemian Rhapsody tiga tahun lalu?” Ucapku seraya menutup malam itu berbarengan dengan champagne supernova menggores telinga dan hati..

#03 JONO

jono memijakkan kaki kiri pertamanya di ibukota, saat dia turun dari bis jurusan caruban - jakarta lebaran kemarin. tasnya tidak berat, isinya hanya ada baju, celana dan beberapa helai pakaian dalam. semuanya baru. masih ada label harga dari pasar kaget yang digelar di alun-alun Caruban dua hari sebelum hari kemenangan tiba. ibunya menangisi kepergian anaknya untuk mengadu nasib di ibukota.

sayangnya jono berpikir apa yang akan dilakukannya untuk menambal kebutuhan hidupnya di jakarta sepuluh menit setelah di sampai di tengah kerumunan orang di terminal Lebak Bulus. di tangan kirinya ada secarik kertas yang menginformasikan nomor telepon dan keberadaan oom jauhnya yang berdomisili di pondok cabe. lalu giginya yang jarang disikat bergemeretak ketika ia tahu bahwa oomnya telah lama meninggal via telepon umum di dejat terminal lebak bulus. dia lihat kanan kirinya. ada beberapa orang yang sama planga-plongonya dengan dia, bedanya hanya mereka membawa seekor ayam hidup, atau menggenggam sebungkus kudapan khas daerah masing-masing.

tiga hari pertama jono tidak begitu menyenangkan. setelah dipalak habis oleh preman lebak bulus, dia juga tidak bisa terlelap sembarangan dimalam hari. Ada Satpol PP yang dengan girang menendang-nendangi mereka yang tidak bertempat tinggal dan tidak mempunyai surat-surat resmi. wong yang punya tempat tinggal saja digusur kok, apalagi so called gembel seperti jono yang tidak jelas. tetapi lama-lama jono naik kelas menjadi gembel beneran. dia tidak berani memberikan kabar apa-apa ke rumahnya, takut Ibunya malu atau malahan dia yang malu karena akan dipaksa pulang ke kampung halaman.

sebenarnya keinginan jono ini terwujud karena termakan cerita teman-temannya. cerita dan tradisi pergi ke ibukota sehabis lebaran, selalu diceritakan teman-teman jono setiap tahunnya. padahal mereka menceritakan sebuah kisah kesuksesan yang palsu, karena mereka hanya berakhir menjadi tukang ketoprak atau malahan satpan cafe murahan di pinggir jakarta. Jono yang selalu ingin pergi, selalu membatalkan kepergiannya karena ibunya ngotot bahwa kebahagiaan hidup juga bisa diraih di kota kecil itu, tidak hanya di jakarta.


dan memang keadaan jono dua minggu pertama di jakarta juga sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan yang teman-temannya gembar gemborkan. dalam hati kecilnya ia merasa tertipu, tetapi terlalu malu untuk pulang dan mengakui kekalahannya di jakarta. Jono tidak tahu bahwa perut lapar bisa mengundang kriminalitas.

#02 Highway Love

Heru adalah seorang supir. Supir yang bekerja untuk ko Ahong. Ko Ahong adalah seorang penyetok barang-barang kebutuhan rumah tangga tersohor di Ibukota. Seluruh ibu-ibu di ibukota selalu menunggu ko Ahong memberikan perkan diskon di tokonya, lalu mereka akan menyerbu toko itu dan pulang membawa berbagai macam kebutuhan rumah tangga. Bulan ini umur Heru beranjak 21.

Sebuah umur tanggung yang bikin bingung. Dia tidak pernah banyak berharap tentang hidupnya. Bukan tipe ambisius, dan bukan model yang pemimpi. Baginya, hidup adalah apa yang ada hari ini. Dan hal itu juga lah yang membuat dia bisa bertahan hidup sampai detik saya mengetik tulisan ini. Heru tidak pernah merasa gagal, karena tidak pernah punya keinginan yang harus Ia perjuangkan. Heru tidak pernah merasa sedih, karena emosi bukan menjadi bahan pertimbangan bagi hidupnya. Hanya ada hitam dan putih. Iya dan tidak. Itu sudah.

Tugasnya setiap hari sama. Menyupir truk Ko Ahong yang berisi stok barang. Dia harus mengantarnya dari tempat Ko Ahong menimbun persediaan barang itu ke toko-tokonya yang tersebar dimana-mana. Sebenarnya Heri tidak sendiri. Dia punya teman sesama supirnya, Joni. Tetapi Joni dan Heru mempunyai lintasan menyupir yang berbeda, sehingga mereka hanya bertemu pagi dan sore ketika sudah usai pekerjaannya.

Di lubuk hatinya Heru mencintai pekerjaan itu. Detik-detiknya dia nikmati. Bahkan di tahun ke 21 hidupnya. 3 tahun sudah. Tiga kali 300 hari-hari melintasi jalur yang sama, mengganti perseneling mobil, menyalakan wiper, memanaskan mobil, membeli rokok, dan membayar tol di gerbang yang s a m a . saat selintas jemu mencoleknya, yang biasa dia lakukan hanya diam, tersenyum sesekali dan (kembali) bersyukur akan karunia Tuhan yang diberikan untuknya. Terkadang pasrah dan bersyukur tidak selamanya menjadi sebuah hal yang menarik.

Lalu sebuah pagi datang menggelitik tengkuk Heru untuk bangun dari kamar sempitnya di pinggir kediaman Ko Ahong. Kasur kayu kecil yang semakin malas menyangga tubuh Heru yang tidak lagi kecil, sewaktu dia dulu diangkut oleh Ko Ahong dari jalanan Jakarta, dan dipekerjakan olehnya hingga sekarang. Dia meletakkan langkah pertama di pagi itu dengan lumayan malas.

Kembali membuka pintu yang sama. Jalur yang sama. Secangkir kopi hitam yang sama. Sabun dan peralatan mandi yang sama. Sepasang sepatu dan kaoskaki usang yang sama. Sebilah pisau pemotong buah yang sama. Orang-orang yang sama. Obrolan yang sama. Dan Heru yang sama. Tiga tahun dia menjalani rutinitas yang sama. Tanpa banyak basa-basi starter mobil dinyalakannya dan dia mulai membersihkan bagian badan mobil dengan kemoceng kecil yang menjadi favoritnya sejak lama. Perlahan dan pasti.

Tak sedetikpun Heru merasa kesepian. Tak sekalipun Heru ingin jatuh cinta. Tak pernah dia ingin merasa nyaman dengan orang lain. Semuanya cukup baginya.

Heru merasa bahwa rutinitasnya ini adalah sebuah rangkaian sacral yang tidak boleh terputuskan dan rusak oleh apapun. Kegiatan di sepanjang hidupnya sudah seperti sebuah fotosintesis dan siklus yang tak terbantahkan. Tidak boleh ada seorangpun yang merusaknya. Dan pagi itu ia kembali ke tempat yang sama, yaitu kursi supir truk kuning Ko Ahong. Dia memulai perjalanannya dengan santai, seperti tidak suatu apapun yang menghalanginya untuk menjalani profesinya. Belokan pertama, kedua, perempatan dan ampu merah yang sudah dia hapal mati. Lalu tiba masuk ke gerbang jalan Tol. Kartu Tol yang mungkin sudah sering Ia genggampun sudah afal siapa Heru supirnya Ko Ahong.

Perjalanan di Tol memakan sekitat 15 menit. Sesekali Heru bersiul dan menoleh kiri-kanan jalan. Terkadang Ia bertemu teman-temannya – yang juga supir sedang dalam perjalanan juga. Tol itu berakhir, dan ditutup oleh sebuah gerbang dimana Heru harus membayar Rp.5.500. Pagi itu Ko Ahong memberikan Heru seratus ribu rupiah untuk dipecah di tol. Perlahan truk Heru mendekati loket pembayaran itu. Heru spontan menyiapkan seratus ribu rupiah yang sudah dititipkan oleh Ko Ahong. Perlahan juga Ia menjulurkan tangan untuk menyambut tangan penjaga loket tol.

Tetapi ternyata detik-detik itu berlangsung lebih lama.

Heru hendak membayar tol tetapi sepertinya agak terhambat. Dia melihat seorang sosok yang berbeda di depan mukanya. Berbaju seragam marga Jasa, tanpa bedak ataupun alis tebal. Entah kenapa Heru merasakan sesuatu yang berbeda saat itu, merambat ke detak jantung yang tiba-tiba konser di dalam dadanya. Sumpah Heru tidak tahu kenapa dia terus memandang paras di dalam loket itu. Tangannya menggenggam tangan Heru yang menyodorkan uang seratus ribu itu. Dalam gerakan lambat Heru menyaksikan Mahluk itu memilah-milah uang kembalian dan menghitung cepat kembalian yang seharusnya dia berikan ke Heru. Heru bersyukur saat itu Ia menyerahkan uang seratus ribu, sehingga waktu dia memandang gadis itu berambah sedikit lebih lama, karena si Gadis harus menghitung kembalian yang jumlahnya tidak sedikit.

Heru seperti kerasukan setan. Tubuhnya lemas dan jantungnya berdebar kencang. Seketika dia terkejut karena ternyata mobil belakang membunyikan klaksonny dengan sengaja. Heru terkejut dan terpaksa memasukkan perneling ke gigi satu dan melanjutkan perjalanannya. Pertemuan itu hanya berlngsung tujuh detik saja. Cukup tujuh detik saja untuk membuat dia linglung dan gelisah selama tujuh jam berikutnya. Dia tidak pernah segelisah ini. Heru tidak pernah merasakan hal-hal seperti ini di hidupnya. Dan yang lebih bodohnya lagi, dia lupa melihat nama gadis loket tol itu, padahal jelas-jelas di setiap loket tol ada nama petugas loket yang sedang menjaga saat itu.

Hati kecil Heru berjanji besok dia harus kembali lewat loket itu dalam jam yang sama dan mencari tahu siapa nama gadis loket tol itu.

#01 Move on Violet





Kota itu sunyi. Yang berseliweran hanyalah jerami-jerami tak bertuan. Mati? Mungkin. Mungkin orang-orang sudah lama melupakan kota itu. berdesir di kenangan lama dengan latar warna hitam dan putih. Mega luas tak berbatas mencoba mendefinisikan arti sepi.

Di pinggir jalan utama, ada kedai tua. Berkerak dan berdecit pintunya. Dari semua meja, hanya tinggal dua yang bernyawa. Sisanya lapuk dimakan usia. Pengunjungnya, hanyalah mereka yang sebentar lewat kota itu. tidak spesial.

Dibelakang kedai, ada nenek tua. Violet adalah tipe nenek tua yang hidup dari kenangan-kenangannya. Bila keriputnya bisa bicara, mungkin dia sudah memberitahu violet untuk segera melupakan anak cucunya yang tidak pernah singgah.

Hidupnya berputar-putar, memutar kembali album piringan hitam yang kusam dan tua. Meraih nada-nada mesra dan berpesta dengan memori lama. Sesekali dia bersenandung nada-nada yang sudah renta. Violet terlalu percaya, semuanya akan kembali seperti semula. Dia terlalu pasrah, sampai-sampai lupa membuka mata.

Di hari-hari menjelang dia meninggal dunia, tidak ada satupun orang disebelahnya. Dia hanya menuliskan secarik kertas, sebelum mengakhiri nafasnya.

“Untuk kalian yang tidak pernah mau membuka mata. Melarikan diri hanya akan membuatnya menjadi semakin besar dan menakutkan. Hadapilah, dan jadilah kita manusia seutuhnya.”